Masa remaja
adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dengan dewasa dan relatif belum
mencapai tahap kematangan mental dan sosial sehingga mereka harus menghadapi
tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan. Banyak sekali life
events yang akan terjadi yang tidak saja akan menentukan kehidupan masa dewasa
tetapi juga kualitas hidup generasi berikutnya sehingga menempatkan masa ini
sebagai masa kritis.
Di
negera-negara berkembang masa transisi ini berlangsung sangat cepat. Bahkan
usia saat berhubungan seks pertama ternyata selalu lebih muda daripada usia
ideal menikah.
Pengaruh
informasi global (paparan media audio-visual) yang semakin mudah diakses justru
memancing anak dan remaja untuk mengadaptasi kebiasaan-kebiaasaan tidak sehat
seperti merokok, minum minuman berakohol, penyalahgunaan obat dan suntikan
terlarang, perkelahian antar-remaja atau tawuran. Pada akhirnya, secara
kumulatif kebiasaan-kebiasaan tersebut akan mempercepat usia awal seksual aktif
serta mengantarkan mereka pada kebiasaan berperilaku seksual yang berisiko
tinggi, karena kebanyakan remaja tidak memiliki pengetahuan yang akurat
mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas serta tidak memiliki akses
terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi, termasuk kontrasepsi.
Kebutuhan dan
jenis risiko kesehatan reproduksi yang dihadapi remaja mempunyai ciri yang
berbeda dari anak-anak ataupun orang dewasa. Jenis risiko kesehatan reproduksi
yang harus dihadapi remaja antara lain adalah kehamilan, aborsi, penyakit
menular seksual (PMS), ke-kerasan seksual, serta masalah keterbatasan akses
terhadap informasi dan pelayanan kesehatan. Risiko ini dipe-ngaruhi oleh
berbagai faktor yang saling berhubungan, yaitu tuntutan untuk kawin muda dan
hubungan seksual, akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, ketidaksetaraan
jender, kekerasan seksual dan pengaruh media massa maupun gaya hidup.
Khusus bagi
remaja putri, mereka kekurangan informasi dasar mengenai keterampilan
menegosiasikan hubungan seksual dengan pasangannya. Mereka juga memiliki
kesempatan yang lebih kecil untuk mendapatkan pendidikan formal dan pekerjaan
yang pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan pengambilan keputusan dan
pemberdayaan mereka untuk menunda perkawinan dan kehamilan serta mencegah
kehamilan yang tidak dikehendaki (FCI, 2000). Bahkan pada remaja putri di
pedesaan, haid pertama biasanya akan segera diikuti dengan perkawinan yang
menempatkan mereka pada risiko kehamilan dan persalinan dini.
Kadangkala
pencetus perilaku atau kebiasaan tidak sehat pada remaja justru adalah akibat
ketidak-harmonisan
hubungan ayah-ibu, sikap orangtua yang menabukan pertanyaan anak/remaja tentang
fungsi/proses reproduksi dan penyebab rangsangan seksualitas (libido), serta
frekuensi tindak kekerasan anak (child physical abuse).
Mereka cenderung
merasa risih dan tidak mampu untuk memberikan informasi yang memadai mengenai
alat reproduksi dan proses reproduksi tersebut. Karenanya, mudah timbul rasa
takut di kalangan orangtua dan guru, bahwa pendidikan yang menyentuh isu
perkembangan organ reproduksi dan fungsinya justru malah mendorong remaja untuk
melakukan hubungan seks pranikah.
Kondisi
lingkungan sekolah, pengaruh teman, ketidaksiapan guru untuk memberikan
pendidikan kesehatan reproduksi, dan kondisi tindak kekerasan sekitar rumah
tempat tinggal juga berpengaruh.
Remaja yang
tidak mempu-nyai tempat tinggal tetap dan tidak mendapatkan perlin-dungan dan
kasih sayang orang tua, memiliki lebih banyak lagi faktor-faktor yang
berkontribusi, seperti: rasa kekuatiran dan ketakutan yang terus menerus,
paparan ancaman sesama remaja jalanan, pemerasan, penganiayaan serta tindak
kekerasan lainnya, pelecehan seksual dan perkosaan. Para remaja ini berisiko
terpapar pengaruh lingkungan yang tidak sehat, termasuk penyalahgunaan obat,
minuman beralkohol, tindakan kriminalitas, serta prostitusi.
Pelayanan
Kesehatan Reproduksi bagi Remaja
Pilihan dan
keputusan yang diambil seorang remaja sangat tergantung kepada kualitas dan
kuantitas informasi yang mereka miliki, serta ketersediaan pelayanan dan
kebijakan yang spesifik untuk mereka, baik formal maupun informal.
Sebagai langkah
awal pencegahan, peningkatan pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi
harus ditunjang dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang
tegas tentang penyebab dan konsekuensi perilaku seksual, apa yang harus
dilakukan dan dilengkapi dengan informasi mengenai saranan pelayanan yang
bersedia menolong seandainya telah terjadi kehamilan yang tidak diinginkan atau
tertular ISR/PMS. Hingga saat ini, informasi tentang kesehatan reproduksi
disebarluaskan dengan pesan-pesan yang samar dan tidak fokus, terutama bila
mengarah pada perilaku seksual.
Di segi
pelayanan kesehatan, pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana
di Indonesia hanya dirancang untuk perempuan yang telah menikah, tidak untuk
remaja. Petugas kesehatan pun belum dibekali dengan kete-rampilan untuk
melayani kebutuhan kesehatan reproduksi para remaja.
Jumlah
fasilitas kesehatan reproduksi yang menyeluruh untuk remaja sangat terbatas.
Kalaupun ada, pemanfaatannya relatif terbatas pada remaja dengan masalah
kehamilan atau persalinan tidak direncanakan. Keprihatinan akan jaminan
kerahasiaan (privacy) atau kemampuan membayar, dan kenyataan atau persepsi
remaja terhadap sikap tidak senang yang ditunjukkan oleh pihak petugas
kesehatan, semakin membatasi akses pelayanan lebih jauh, meski pelayanan itu
ada. Di samping itu, terdapat pula hambatan legal yang berkaitan dengan
pemberian pelayanan dan informasi kepada kelompok remaja.
Karena
kondisinya, remaja merupakan kelompok sasaran pelayanan yang mengutamakan
privacy dan confidentiality. Hal ini menjadi penyulit, mengingat sistem pelayanan
kesehatan dasar di Indonesia masih belum menempatkan kedua hal ini sebagai
prioritas dalam upaya perbaikan kualitas pelayanan yang berorientasi pada
klien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar